Sang Pelestari Budaya




Alarm itu berbunyi sangat nyaring, jam menunjukkan pukul 06.00. Cahaya matahari menembus kaca dan menerpa wajah seorang gadis yang masih terbuai dalam mimpi. Ia membuka mata perlahan dan mengusapnya dengan punggung tangan. Gadis itu menguap dengan rambutnya yang berantakan. Dengan jalan yang sempoyongan ia menuju kamar mandi.
Hari ini adalah jadwalnya Mita untuk pergi ke Aloon-Aloon bersama teman-temannya pukul 8 pagi. Hanya sekedar jalan-jalan dan berfoto, menikmati udara pagi di Aloon-Aloon. Ia mendengar suara alunan gamelan yang indah. Asal suara itu dari Taman Budaya, dilihatnya dari kejauhan ada seorang gadis yang menari dengan selendang merah. Ia berjalan kesana kemari dan bergerak dengan sangat luwes. Ia kesulitan untuk melihatnya karena tertutup pohon. Sebenarnya, Mita tidak menyukai hal-hal berbau seni tari. Tetapi kali ini ia tertarik dengan tarian wanita itu.
“Mita, kau mau kemana?” Tanya seorang teman.
Mita tidak menjawab, “Gadis yang sedang menari itu siapa?” bisik Mita pada temannya.
“Oh itu. Kau tidak tahu ya? Besok ada pagelaran seni tari, dan yang menari itu adalah Roro Kembang Sore. Penari yang masih belia tetapi sudah menjadi kebanggaan Tulungagung” Jelas salah satu temannya.
“Roro Kembang Sore? Seperti pernah mendengar nama itu?” katanya bingung.
“Tentu saja. Roro Kembang Sore adalah salah satu tokoh legenda Tulungagung” kata temannya.
“ Oh Begitu. Aku ingin melihatnya lebih dekat, mau ikut?” Tawar Mita. Hanya satu temannya yang mau ikut, Nila. Yang lain memilih tinggal untuk berfoto lagi.
Ia duduk disamping panggung, melihat gerakan sang penari. Setelah tarian itu selesai, Mita menemui penari itu dibelakang panggung. Gadis itu duduk dengan keringat yang bercucuran.
“Tarianmu mengagumkan” kata Mita.
Roro Kembang Sore mengulas senyum di wajah manisnya itu.
“Aku Mita dan ini temanku Nila” Seseorang yang disamping Mita tersenyum.
“Bolehkah aku bertanya? Bagaimana caramu melakukan gerakan tari sehebat itu? Aku tidak pernah melihat itu sebelumnya” tanya Mita.
“Rajin Berlatih”Jawabnya singkat.
“Itu saja? Tidak mungkin jika hanya rajin berlatih”kata Mita.
“Memang itu yang kulakukan, hanya rajin berlatih dengan niat tentunya” kata Roro kembang Sore menyakinkan.
“Setiap latihan kita akan dapat gerakan baru untuk menari. Gerakan itu dipahami dan diingat. Tentunya dengan niat dan semangat, bukan abal-abal” jelas Roro. Mina hanya manggut-manggut.
“Mau kuajari? Aku masih punya waktu untuk mengajarimu menari” tawarnya.
“Ah, tidak. Aku tidak menyukai Seni Tari” kata Mita mengelak.
Roro menggeleng dan tertawa kecil. “Kau ini orang Jawa tapi tidak menyukai budaya tari, budaya Jawa
“Apa salahnya? tari tradisional itu sangat kuno” ujar Mita.
“Seharusnya seni tari menjadi budaya yang dilestarikan, bukan malah dijadikan sejarah lalu dilupakan. Menari itu menyenangkan dan kita juga belajar memahami karakter tarian” jelas Roro.
Nila yang sedari tadi diam pun, angkat bicara. “Benar! Setiap tarian memiliki karakter yang berbeda dan untuk menguasainya cukup sulit untuk dilakukan. Ayolah, kau harus belajar menari. Ini tidak sekuno atau bahkan membosankan seperti yang kau kira, Mita” bujuk Nila.
“Baiklah, aku akan mencoba. Aku harap bisa menyukai” katanya. Lalu Roro Kembang Sore mengajari Mita dan Nila seperti penari pemula. Mulai dari ruji, kiting, ungkel, pencak gulu dan mendak. Beberapa menit kemudian mereka beristirahat sejenak.
“Cukup melelahkan tetapi sangat menarik. Sulit juga, kupikir hanya menggerakkan tangan, kaki dan kepala” kata Mita.
“Makanya jangan bilang “tidak” sebelum mencoba” kata Nila. Mita pun terkekeh.
“Terimakasih, sudah mengajari kami menari. Sungguh menyenangkan” kata Mita berterimakasih.
“Tidak masalah, aku senang jika mengajari dan mengenalkan seseorang pada budaya tari” katanya lalu mengulas senyum manisnya lagi.
“Pasti” jawab Mita dan Nila nyaris bersamaan.
            Seiring berlalunya waktu, Mita menjadi mahir dalam menari dengan waktu yang singkat dan bahkan namanya sudah sama terkenalnya dengan Roro. Mita juga bersaing dengan Roro yang menyadarkannya untuk melestarikan budaya tari. Mita dan Roro menari bersama di Taman Budaya, mereka sama-sama bagusnya.
            “Mita!” panggil seseorang dibelakangnya. “Ayo pulang, jangan ngelamun terus” lanjutnya. Seseorang itu adalah Nila.
            “Hah?” lamunan Mita buyar. Ternyata itu hanya bayangan Mita menjadi penari yang mahir dan lebih unggul daripada Nila. Serta menyadari dirinya masih di Aloon-Aloon dan memeluk tiang listrik. Ia juga melihat Roro Kembang Sore masih menari dengan luwes bersama musik gamelan itu. Mita hanya diam dengan tersenyum sendiri lalu pulang bersama teman-temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar