"Nia!!” teriakan ketujuh keluar dari mulut
seorang wanita untuk membangunkan
anaknya. Renia menggeliat, teriakan itu
membuat matanya sakit ketika terbuka karena cahaya mentari yang langsung menyorot matanya. Seseorang
pasti punya sesuatu yang dibenci, begitupun Renia yang sangat membenci pagi
apalagi kalau bukan karena teriakan ibunya yang memekik telinganya. Walaupun
begitu, Renia sadar tanpa teriakan ibunya mungkin ia akan bangun kesiangan
meskipun telinganya terasa seperti tertancap pisau.
“Iya, bu” Renia bangun dengan malas
lalu bergegas kekamar mandi. Renia sendiri adalah anak pemalas dan pemarah,
jika kemalasannya sudah mencapai titik tertinggi maka tidak akan ada cara lagi
untuk menyuruhnya melakukan sesuatu. Setelah mandi, Renia sarapan kemudian
menuju sekolah dengan sepedanya.
“Selamat pagi, Re” sapa sahabatnya,
Keira. Satu-satunya orang yang mau berteman dekat dengannya, sangat ironis.
“Pagi, kenapa kau menelfonku
semalam? Maaf kalau tidak kuangkat, kemarin aku sudah terseret mimpi” katanya
sembari duduk dibangkunya.
“Tidak terlalu penting, aku hanya
ingin mengajakmu menikmati pagi. Sungguh kau telah melewatkan pagi yang benar-benar
menakjubkan!” Katanya berseri-seri.
“Kau menelfonku semalam hanya untuk
mengatakan itu? Ayolah, sudah kukatakan aku tak akan pernah menyukai pagi. Aku
selalu merasakan 100 petir menyambar kedua telingaku sekaligus lengkap dengan
omelan saat bangun, dan itu penyambutan yang kualami selama aku hidup. Sangat
buruk” Renia mengambil buku ditasnya.
“100 petir? Kau ini berlebihan, lagipula kau ini sudah kelas 9
seharusnya kau bisa bangun sendiri” Keira duduk disampingnya.
“Yang benar saja, aku tidak bisa bangun
sendiri, Keira. Alarmpun tidak mempan ditelingaku” ujarnya.
“Aku menyarankan untuk membawa telingamu ke
dokter, aku sangat khawatir tentang itu” timpalnya, ia terkekeh saat melihat
ekspresi Renia yang semakin kesal.
“Pagi itu menyenangkan terutama saat melihat
matahari terbit rasanya seperti matahari tersenyum menyapa kita, disitu kita
juga akan merasa takjub dengan ciptaan Tuhan” sambungnya.
“Aku bingung denganmu,
kenapa kau bisa terpesona dan begitu mencintai pagi. Pagi itu tidak ada
apa-apanya dan sangat menyebalkan”
“Kau seharusnya,
bersyukur matamu masih dapat terbuka dan melihat orang yang kau sayangi, kalau
kau menganggap pagi tidak ada apa-apanya kau salah besar. Pagi lebih dari itu,
kalau kau benar-benar menghargai semua ciptaan Tuhan kau akan sama terpesonanya
denganku dan akan terus begitu” jelasnya, Keira melihat Renia yang memfokuskan
diri dengan bukunya namun Keira tau Renia mendengarkan apa yang diucapkannya.
“Sudah selesai
bicaranya, nona pecinta pagi? Terimakasih atas penjelasanmu tadi tapi itu tidak
mempengaruhiku sama sekali” Renia beranjak lalu meninggalkan Keira dengan kata-katanya yang begitu menyinggung Keira. Keira tidak tau, apakah dia telah salah mengatakan
hal tersebut, yang ia tau hanyalah ia sangat menginginkan sahabatnya mensyukuri
hidup setiap pagi datang.
Bel berbunyi nyaring,
Renia menggurutu kesal karena suara bel mengagetkannya namun hatinya bahagia karena bel menunjukkan waktu untuk
pulang. Hari ini Keira pergi ke toko buku sendiri, biasanya ia bersama Renia
yang juga pecinta buku namun melihat Renia masih kesal padanya ia mengurungkan
niat untuk mengajaknya. Keira berharap masalah ini segera terlupakan.
Disisi lain, Renia baru
sampai dirumah. Ia melepas penat sejenak di sofa sembari memikirkan kata-kata
Keira, sejujurnya Keira ada benarnya juga namun ia malu mengakuinya. Renia
mengambil ponsel untuk meminta maaf pada Keira karena hatinya merasa tidak
nyaman, itu semua terjadi karena sifat kekanak-kanakkan Renia. Selesai mengirim
pesan, Renia melihat ibunya berpakaian rapi, jarang sekali ibunya berpergian
disaat-saat seperti ini.
“Ibu mau kemana?”
tanyanya.
“Kamu belum dapat kabar
tentang Keira?”
“Keira kenapa, bu?!”
sontak Renia beranjak dari duduknya.
“Hmm, Keira tertabrak saat akan menyebrangi jalan” ibunya berkata dengan pelan namun
begitu menyengat di tubuh dan hatinya, berita ini lebih panas dan menyakitkan
dibanding teriakkan ibunya. Matanya mulai memanas ingin menangis namun buru-buru ia
mengalihkannya.
“Sekarang ia berada di
rumah sakit” setelah itu mereka bergegas kerumah sakit. Dalam perjalanan
hatinya berkecamuk, tidak peduli penampilannya yang berantakan ia hanya
memikirkan bagaimana kondisi Keira saat ini.
“Keira” ucapnya lirih.
Reina tertegun saat melihat kondisi Keira yang terbaring lemah terselimut kabel
dan perban, matanya tidak dapat ia bendung lagi.
“Maafkan aku” Renia
mendekat.
“N-Nia, kumohon untuk terakhir
k-kalinya agar tidak membenci pagi dan selalu b-bersyukur saat pagi tiba
untukku, untuk sahabatmu yang tidak seberuntung kau” Keira menatap wajah
sahabatnya.
“Maaf, hanya s-sampai disini aku menjadi
sahabatmu.. Selamat tinggal” Katanya terbata-bata lalu tersenyum, perlahan
matanya tertutup dan takkan kembali terbuka.
“Keira? Jangan, kumohon!” Air matanya turun lebih
deras, pertemuan mereka diakhiri dengan senyuman Keira yang sehangat matahari
terbit
“Terimakasih telah menyadarkanku akan sesuatu hal
yang berharga, yang tak pernah kupikirkan. Aku akan selalu bersyukur ketika
mata ini masih dapat terbuka dipagi hari seperti yang kau bilang. Selamat
tinggal kembali pecinta pagi, semoga Tuhan selalu disisimu” Renia memegang
tangan dan mengamati Keira untuk yang terakhir kalinya.
Kini, wajah hangat Keira digantikan oleh sapa
hangat matahari terbit dari ufuk timur.
Just a Short Story.
Tulungagung, 20 11 2016
Nashfaza Wury
Tidak ada komentar:
Posting Komentar